PENDAHULUAN
Latar
belakang masalah
Krisis moneter merupakan masalah yang kompleks, yang di hadapi oleh
seluruh negara di dunia,krisis ekonomi juga mempuunyai hubungan yang saling
ketergantungan antara negara satu dengan negara lain.
Masa krisis keuangan atau yang biasa disebut krisis moneter tidak terasa telah memasuki tahun ke-10. Indonesia merupakan negara terakhir yang keluar dari perawatan Dana Moneter Internasional (IMF), setelah Korea Selatan dan Thailand. Indonesia mampu keluar dari jaring-jaring IMF pada akhir tahun 2005 melalui exit programme dan pelunasan utang pada akhir 2006.
Namun, krisis moneter memberikan sejumlah pelajaran bagi kita dan juga international financial community,bahwa krisis moneter harus segera di tangani dengan baik dan dengan cara yang tepat jika keadaan tetap krisis maka akan merugikan perekonomian dunia terutama di Indonesia.oleh sebab di atas, penulis tertarik mengambil tema”krisis moneter Indonesia” dalam pembuatan makalah yang berhubungan dengan tugas pengantar bisnis.
PEMBAHASAN
·
Penyebab krisis moneter yang melanda indonesia
Krisis moneter yang melanda
Indonesia sejak awal Juli 1997, sementara ini telah berlangsung hampir dua
tahun dan telah berubah menjadi krisis ekonomi, yakni lumpuhnya kegiatan ekonomi
karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja
yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena
terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai
musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi
seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang
dan terparah selama 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara
besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota
pada pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjutannya.
Krisis moneter ini terjadi, meskipun
fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat dan
disanjung-sanjung oleh Bank Dunia (lihat World Bank: Bab 2 dan Hollinger). Yang
dimaksud dengan fundamental ekonomi yang kuat adalah pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah,
neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca
berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa
masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit
surplus. Lihat Tabel. Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural
seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli
impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat
yang bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidak
pastian sehingga masuk dana luar negeri dalam jumlah besar melalui sistim perbankan
yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana dari luar negeri yang sebagian
besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis
kepercayaan. (Bandingkan juga IMF, 1997: 1). Namun semua kelemahan ini masih
mampu ditampung oleh perekonomian nasional. Yang terjadi adalah, mendadak
datang badai yang sangat besar, yang tidak mampu dbendung oleh tembok penahan
yang ada, yang selama bertahun-tahun telah mampu menahan berbagai terpaan
gelombang yang datang mengancam.
·
INDIKATOR
UTAMA EKONOMI INDONESIA 1990 - 1997
1990
|
1991
|
1992
|
1993
|
1994
|
1995
|
1996
|
1997
|
|
Pertumbuhan ekonomi (%)
|
7,24
|
6,95
|
6,46
|
6,50
|
7,54
|
8,22
|
7,98
|
4,65
|
Tingkat inflasi (%)
|
9,93
|
9,93
|
5,04
|
10,18
|
9,66
|
8,96
|
6,63
|
11,60
|
Neraca pembayaran (US$ juta)
|
2,099
|
1,207
|
1,743
|
741
|
806
|
1,516
|
4,451
|
-10,021
|
Neraca perdagangan
|
5,352
|
4,801
|
7,022
|
8,231
|
7,901
|
6,533
|
5,948
|
12,964
|
Neraca berjalan
|
-3.24
|
-4,392
|
-3,122
|
-2,298
|
-2.96
|
-6.76
|
-7,801
|
-2,103
|
Neraca modal
|
4,746
|
5,829
|
18,111
|
17,972
|
4,008
|
10,589
|
10,989
|
-4,845
|
Pemerintah (neto)
|
633
|
1,419
|
12,752
|
12,753
|
307
|
336
|
-522
|
4,102
|
Swasta (neto)
|
3,021
|
2,928
|
3,582
|
3,216
|
1,593
|
5,907
|
5,317
|
-10.78
|
PMA (neto)
|
1,092
|
1,482
|
1,777
|
2,003
|
2,108
|
4,346
|
6,194
|
1,833
|
Cadangan devisa akhir tahun (US$ juta)
|
8,661
|
9,868
|
11,611
|
12,352
|
13,158
|
14,674
|
19,125
|
17,427
|
(bulan impor nonmigas c&f)
|
4,7
|
4,8
|
5,4
|
5,4
|
5,0
|
4,3
|
5,2
|
4,5
|
Debt-service ratio (%)
|
30,9
|
32,0
|
31,6
|
33,8
|
30,0
|
33,7
|
33,0
|
|
Nilai tukar Des. (Rp/US$)
|
1,901
|
1,992
|
2,062
|
2.11
|
2.2
|
2,308
|
2,383
|
4.65
|
APBN* (Rp. milyar)
|
3,203
|
433
|
-551
|
-1.852
|
1,495
|
2,807
|
818
|
456
|
* Tahun anggaranSumber : BPS,
Indikator Ekonomi; Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia; World
Bank, Indonesia in Crisis, July 2, 1998
Sebagai konsekuensi dari krisis
moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan
nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dollar AS, dan
membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistim
managed floating yang dianut pemerintah sejak devaluasi Oktober 1978. Dengan
demikian Bank Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing
untuk menopang nilai tukar rupiah, sehingga nilai tukar ditentukan oleh
kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan cepat dan
tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS Juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir
Januari 1998, namun kemudian berhasil menguat kembali menjadi sekitar Rp 8.000
awal Mei 1999.
·
Krisis
Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya
Penyebab
dari krisis ini bukanlah fundamental ekonomi Indonesia yang selama ini lemah,
hal ini dapat dilihat dari data-data statistik di atas, tetapi terutama karena
utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol
bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melainkan sektor luar negeri, khususnya
nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai
nyatanya1 . Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar
rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara
bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta
luar negeri dalam jumlah besar. Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS
ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi
Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan lain perkataan, walaupun distorsi
pada tingkat ekonomi mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran
terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan
devisa yang ada tidak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini
diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang
datangnya saling bersusulan. Analisis dari faktor-faktor penyebab ini penting,
karena penyembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa.
Anwar Nasution melihat besarnya
defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistim
perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis finansial (Nasution:
28). Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersamasama membuat
krisis menuju ke arah kebangkrutan (World Bank, 1998, pp. 1.7 -1.11). Yang pertama
adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga
Juli 1997, sehingga l.k. 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari
sektor swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan
selama empat tahun terakhir utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun.
Sebab yang kedua adalah kelemahan pada sistim perbankan. Ketiga adalah masalah
governance, termasuk kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang
kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk
menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah ketidak pastian
politik menghadapi Pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden
Soeharto pada waktu itu.
Sementara menurut penilaian penulis,
penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya
nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam,
meskipun ini bukan faktor
satu-satunya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menurut program reformasi ekonomi IMF. Menurut IMF, krisis ekonomi yang berkepanjangan di
Indonesia disebabkan karena pemerintah baru meminta bantuan IMF setelah rupiah
sudah sangat terdepresiasi. Strategi pemulihan IMF dalam garis besarnya adalah
mengembalikan kepercayaan pada mata uang, yaitu dengan membuat mata uang itu
sendiri menarik. Inti dari setiap program pemulihan ekonomi adalah
restrukturisasi sektor finansial. (Fischer 1998b). Sementara itu pemerintah
Indonesia telah enam kali memperbaharui persetujuannya dengan IMF, Second
Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) tanggal 24
Juni, kemudian 29 Juli 1998, dan yang terakhir adalah review yang keempat,
tanggal 16 Maret 1999.
·
Program
bantuan IMF pertama ditanda-tangani pada tanggal 31 Oktober 1997. Program
reformasi ekonomi yang disarankan IMF ini mencakup empat bidang:
- Penyehatan sektor keuangan;
- Kebijakan fiskal;
- Kebijakan moneter;
- Penyesuaian struktural.
Untuk menunjang program ini, IMF
akan mengalokasikan stand-by credit sekitar US$ 11,3 milyar selama tiga hingga
lima tahun masa program. Sejumlah US$ 3,04 milyar dicairkan segera, jumlah yang
sama disediakan setelah 15 Maret 1998 bila program penyehatannya telah
dijalankan sesuai persetujuan, dan sisanya akan dicairkan secara bertahap
sesuai kemajuan dalam pelaksanaan program. Dari jumlah total pinjaman tersebut,
Indonesia sendiri mempunyai kuota di IMF sebesar US$ 2,07 milyar yang bisa
dimanfaatkan. (IMF, 1997: 1). Di samping dana bantuan IMF, Bank Dunia, Bank
Pembangunan Asia dan negaranegara sahabat juga menjanjikan pemberian bantuan
yang nilai totalnya mencapai lebih kurang US$ 37 milyar (menurut Hartcher dan
Ryan). Namun bantuan dari pihak lain ini dikaitkan dengan kesungguhan
pemerintah Indonesia melaksanakan program-program yang diprasyaratkan IMF.
Karena dalam beberapa hal
program-program yang diprasyaratkan IMF oleh pihak Indonesia dirasakan berat
dan tidak mungkin dilaksanakan, maka dilakukanlah negosiasi kedua yang
menghasilkan persetujuan mengenai reformasi ekonomi (letter of intent) yang
ditanda-tangani pada tanggal 15 Januari 1998, yang mengandung 50 butir.
Saransaran IMF diharapkan akan mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan
cepat dan kurs nilai tukar rupiah bisa menjadi stabil (butir 17 persetujuan IMF
15 Januari 1998). Pokokpokok dari program IMF adalah sebagai berikut:
A. Kebijakan makro-ekonomi
- Kebijakan fiskal
- Kebijakan moneter dan nilai tukar
B. Restrukturisasi sektor keuangan
- Program restrukturisasi bank
- Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan
C. Reformasi struktural
- Perdagangan luar negeri dan investasi
- Deregulasi dan swastanisasi
- Social safety net
- Lingkungan hidup.
Setelah pelaksanaan reformasi kedua
ini kembali menghadapi berbagai hambatan, maka diadakanlah negosiasi ulang yang
menghasilkan supplementary memorandum pada tanggal 10 April 1998 yang terdiri
atas 20 butir, 7 appendix dan satu matriks. Cakupan memorandum ini lebih luas
dari kedua persetujuan sebelumnya, dan aspek baru yang masuk adalah
penyelesaian utang luar negeri perusahaan swasta Indonesia. Jadwal pelaksanaan
masing-masing program dirangkum dalam matriks komitmen kebijakan struktural.
Strategi yang akan dilaksanakan adalah:
- menstabilkan rupiah pada tingkat yang sesuai dengan kekuatan ekonomi Indonesia;
- memperkuat dan mempercepat restrukturisasi sistim perbankan;
- memperkuat implementasi reformasi struktural untuk membangun ekonomi yang efisien dan berdaya saing;
- menyusun kerangka untuk mengatasi masalah utang perusahaan swasta;
- kembalikan pembelanjaan perdagangan pada keadaan yang normal, sehingga ekspor bisa bangkit kembali.
Ke tujuh appendix adalah masing-masing:
- Kebijakan moneter dan suku bunga
- Pembangunan sektor perbankan
- Bantuan anggaran pemerintah untuk golongan lemah
- Reformasi BUMN dan swastanisasi
- Reformasi struktural
- Restrukturisasi utang swasta
- Hukum Kebangkrutan dan reformasi yuridis.
Prioritas utama dari program IMF ini
adalah restrukturisasi sektor perbankan. Pemerintah akan terus menjamin
kelangsungan kredit murah bagi perusahaan kecilmenengah dan koperasi dengan
tambahan dana dari anggaran pemerintah (butir 16 dan 20 dari Suplemen). Awal
Mei 1998 telah dilakukan pencairan kedua sebesar US$ 989,4 juta dan jumlah yang
sama akan dicairkan lagi berturut-turut awal bulan Juni dan awal bulan Juli,
bila pemerintah dengan konsekuen melaksanakan program IMF. Sementara itu Menko
Ekuin/ Kepala Bappenas menegaskan bahwa “Dana IMF dan sebagainya memang tidak
kita gunakan untuk intervensi, tetapi untuk mendukung neraca pembayaran serta
memberi rasa aman, rasa tenteram, dan rasa kepercayaan terhadap perekonomian
bahwa kita memiliki cukup devisa untuk mengimpor dan memenuhi
kewajiban-kewajiban luar negeri” (Kompas, 6 Mei 1998). Pencairan berikutnya
sebesar US$ 1 milyar yang dijadwalkan awal bulan Juni baru akan terlaksana awal
bulan September ini.
Kritik Terhadap IMF
Banyak kritik yang dilontarkan oleh
berbagai pihak ke alamat IMF dalam hal menangani krisis moneter di Asia, yang
paling umum adalah bahwa: (1) program IMF terlalu seragam, padahal masalah yang
dihadapi tiap negara tidak seluruhnya sama; dan (2) program IMF terlalu banyak
mencampuri kedaulatan negara yang dibantu (Fischer, 1998b). Radelet dan Sachs
secara gamblang mentakan bahwa bantuan IMF kepada tiga negara Asia (Thailand,
Korea dan Indonesia) telah gagal. Setelah melihat program penyelematan IMF di
ketiga negara tersebut, timbul kesan yang kuat bahwa IMF sesungguhnya tidak
menguasai permasalahan dari timbulnya krisis, sehingga tidak bisa keluar dengan
program penyelamatan yang tepat. Salah satu pemecahan standar IMF adalah
menuntut adanya surplus dalam anggaran belanja negara, padahal dalam hal
Indonesia anggaran belanja negara sampai dengan tahun anggaran 1996/1997 hampir
selalu surplus, meskipun surplus ini ditutup oleh bantuan luar negeri resmi
pemerintah. Adalah kebijakan dari Orde Baru untuk menjaga keseimbangan dalam
anggaran belanja negara, dan prinsip ini terus dipegang. Selama ini tidak ada
pencetakan uang secara besar-besaran untuk menutup anggaran belanja negara yang
defisit, dan tidak ada tingkat inflasi yang melebihi 10%. Memang dalam anggaran
belanja negara tahun 1998/1999 terdapat defisit anggaran yang besar, namun ini
bukan disebabkan karena kebijakan deficit financing dari pemerintah, tetapi
oleh karena nilai tukar rupiah yang terpuruk terhadap dollar AS. Semakin jatuh
nilai tukar rupiah, semakin besar defisit yang terjadi dalam anggaran belanja.
Karena itu pemecahan utamanya adalah bagaimana mengembalikan nilai tukar rupiah
ke tingkat yang wajar.
J. Stiglitz, pemimpin ekonom Bank
Dunia, mengkritik bahwa prakondisi IMF yang teramat ketat terhadap
negara-negara Asia di tengah krisis yang berkepanjangan berpotensi menyebabkan
resesi yang berkepanjangan. Kemudian berlakunya praktek apa yang dinamakan
“konsensus Washington”, yaitu negara pengutang lazimnya harus mendapatkan restu
pendanaan dari pemerintah AS, yang pada dasarnya hanya memperluas kesempatan
ekonomi AS. (Kompas, 13 Mei 1998). Kabar terakhir menyebutkan bahwa pencairan
bantuan tahap ketiga awal Juni ni akan tertunda lagi atas desakan pemerintah AS
yang dikaitkan dengan perkembangan reformasi politik di Indonesia, dan ini akan
menunda cairnya bantuan dari sumber-sumber lain (Hartcher dan Ryan).
Anwar Nasution mengkritik bahwa
reformasi ekonomi yang disarankan IMF bentuknya masih samar-samar. Tidak ada
penjelasan rinci, bagaimana caranya untuk meningkatkan penerimaan pemerintah
dan mengurangi pengeluaran pemerintah untuk mencapai sasaran surplus anggaran
sebesar 1% dari PDB dalam tahun fiskal 1998/99, dan bagaimana ingin dicapai
sasaran pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Harapan satu-satunya adalah peningkatan
ekspor non-migas, namun kelemahan utama dari IMF adalah tidak ada program yang
jelas untuk meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya produksi untuk
mendorong ekspor non-migas. (Nasution: 27-28).
Penasehat khusus IMF untuk Indonesia
(P.R. Narvekar) sendiri juga dikutip sebagai mengatakan bahwa “IMF kerap
menerapkan standar ganda dalam pengambilan keputusan. Di satu pihak, perwakilan
IMF mewakili negara dan pemerintahan dengan kebijakan dan visi politik
masing-masing, sementara keputusan yang diambil harus mengacu pada fakta
konkret ekonomi. Karenanya, ada saja peluang bahwa tudingan atas pelanggaran
hak asasi manusia di Indonesia yang makin marak belakangan ini, menjadi hal
yang disoroti Dewan Direktur IMF dalam pengambilan keputusannya pekan depan”.
Demikianpun halnya dengan Bank Dunia. (Kompas, 2 Mei 1998).
Sri Mulyani mengemukakan, bahwa di
bidang kebijaksanaan makro IMF tidak memperlihatkan adanya konsistensi
antarinstrumen kebijaksanaan. Di satu pihak IMF memberikan kelenturan dengan
mengizinkan dipertahankannya subsidi dan menyediakan dana untuk menciptakan
jaringan keselamatan sosial, sedang di lain pihak menganut kebijaksanaan
moneter yang kontraktif. Kedua kebijaksanaan ini bisa memandulkan efektivitas
kebijaksanaan makro, terutama dalam rangka stabilitas nilai tukar dan inflasi.
(Sri Mulyani: 72). “Secara makro ancaman kegagalan terbesar kesepakatan ketiga
ini berasal dari kebijaksanaan moneter yang masih ambivalen, karena keharusan BI
melakukan fungsi lender of last resort bagi perbankan nasional, yang
bertentangan dengan tema pengetatan, juga ketidak sejalanan kebijaksanaan
moneter dan fiskal” (Sri Mulyani: 72).
Saran IMF menutup sejumlah bank yang
bermasalah untuk menyehatkan sistim perbankan Indonesia pada dasarnya adalah
tepat, karena cara pengelolaan bank yang amburadul dan tidak mengikuti
peraturan, namun dampak psikologisnya dari tindakan ini tidak diperhitungkan.
Masyarakat kehilangan kepercayaan kepada otoritas moneter, Bank Indonesia dan
perbankan nasional, sehingga memperparah keadaan dan masyarakat beramai-ramai
memindahkan dananya dalam jumlah besar ke bank-bank asing dan pemerintah atau
ditaruh di rumah, yang menimbulkan krisis likuiditas perbankan nasional yang
gawat. Hal ini juga diakui oleh IMF (butir 14, 15 dan 24 dari persetujuan IMF
tanggal 15 Januari 1998).
Pertanyaan mendasar yang harus
ditujukan kepada IMF menurut penulis adalah sejauh mana IMF bersungguh-sungguh
dalam hal membantu mengatasi krisis ekonomi yang sedang melanda Indonesia
dewasa ini? Apakah sama seperti kesungguhan Amerika Serikat ketika membantu
Meksiko bersama-sama dengan IMF dan negara-negara maju lainnya yang berhasil
menggalang sebesar hampir US$ 48 milyar Januari 1995? Setelah mencapai titik
terendah tahun 1995, perekonomian Meksiko dengan cepat pada tahun 1996 dapat
bangkit kembali. Rencana IMF untuk mencairkan bantuannya secara bertahap dalam
jarak waktu yang cukup jauh menunjukkan bahwa IMF menekan Indonesia untuk
menjalankan programnya secara ketat dan membiarkan keadaan ekonomi Indonesia
terus merosot menuju resesi yang berkepanjangan. Dengan menahan pencairan
bantuan tahap kedua dan setelah diundur, hanya dicicil US$ 1 milyar dari jumlah
US$ 3 milyar, ditambah jarak yang cukup lama antara paket bantuan pertama dan
kedua, menyulitkan pemulihan ekonomi Indonesia secara cepat, menghilangkan
kepercayaan terhadap rupiah, bahkan memperparah keadaan. Karena badan
internasional lain dan negara-negara sahabat yang menjanjikan bantuan juga
menunggu signal dari IMF, berhubung semua bantuan tambahan yang besarnya
mencapai US$ 27 milyar dikaitkan dengan cairnya bantuan IMF. Di lain pihak,
kita juga perlu berterima kasih kepada IMF karena dengan menunda mencairkan
bantuannya, IMF sedikit banyak mempunyai andil dalam perjuangan menggulirkan
tuntutan reformasi politik, ekonomi dan hukum di Indonesia yang pada akhirnya
bermuara pada mundurnya Presiden Soeharto.
Saran IMF untuk menstabilkan nilai
tukar adalah dengan menerapkan kebijakan uang ketat, menaikkan suku bunga dan
mengembalikan kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi, dari waktu ke waktu
mengadakan intervensi terbatas di pasar valas dengan petunjuk IMF (lihat butir
14, 16, 17, 21 dari persetujuan 15 Januari 1998; butir 5, 7 dari Suplemen).
Sayangnya tidak ada program khusus yang secara langsung ditujukan untuk
menguatkan kembali nilai tukar rupiah, juga tidak ada Appendix untuk masalah
ini. IMF tidak memecahkan permasalahan yang utama dan yang paling mendesak
secara langsung. IMF bisa saja terlebih dahulu mengambil kebijakan
memprioritaskan stabilisasi nilai tukar rupiah, kalau mau, dengan mencairkan
dana bantuan yang relatif besar pada bulan November lalu, yang didukung oleh
bantuan dana dari World Bank, Asian Development Bank dan negara-negara sahabat.
Dengan demikian timbulnya krisis kepercayaan yang berkepanjangan dapat dicegah.
IMF sendiri tampaknya tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan berputarputar
pada kebijakan surplus anggaran, uang ketat, tingkat bunga tinggi, pembenahan
sektor riil yang memang perlu dan sudah sangat mendesak, dan titipan-titipan
khusus dari negaranegara maju yaitu membuka peluang investasi yang
seluas-luasnya bagi mereka dengan menggunakan kesempatan dalam kesempitan
Indonesia.
Di lain pihak memang harus diakui
bahwa tekanan ini perlu untuk memastikan kesungguhan Indonesia, karena untuk
beberapa tindakan memang ada tanda-tanda kekurang sungguhan di pihak Indonesia.
Tidak adanya program dari IMF yang jelas dan berjangka pendek untuk
mengembalikan nilai tukar rupiah ke tingkat yang wajar dan menstabilkannya
membuat pemerintah cukup lama terombang-ambing antara memilih program IMF atau
currency board system, yang justru menjanjikan kepastian dan kestabilan nilai
tukar pada tingkat yang wajar.
Krisis ekonomi yang tengah
berlangsung ini memang bukan tanggung-jawab IMF dan tidak bisa dipecahkan oleh
IMF sendiri. Namun kekurangan yang paling utama dari IMF adalah bahwa IMF dalam
program bantuannya tidak mencari pemecahan terhadap masalah yang pokok dan
sangat mendesak ini dan berputar-putar pada reformasi struktural yang dampaknya
jangka panjang. Bila semua kekuatan bantuan ini dikumpulkan sekaligus secara
dini, maka hal ini dengan cepat akan memulihkan kembali kepercayaan masyarakat
dalam negeri dan internasional. Namun bantuan dana IMF dan ketergantungan
harapan pada IMF ini di(salah)gunakan untuk menekan pemerintah Indonesia untuk
melaksanakan reformasi struktural secara besar-besaran. Ibaratnya orang yang
sudah hampir tenggelam diombang-ambing ombak laut tidak segera ditolong dengan dilempari
pelampung, tapi disuruh belajar berenang dahulu.
Reformasi struktural sebagaimana
yang dianjurkan oleh IMF memang mendasar dan penting, tetapi dampak hasilnya
baru bisa dirasakan dalam jangka panjang, sementara pemecahan masalahnya sudah
sangat mendesak, di mana makin ditunda makin banyak perusahaan yang jatuh
bergelimpangan. Banyak perusahaan yang mengandalkan pasaran dalam negeri tidak
bisa menjual barang hasil produksinya karena perusahaan-perusahaan ini umumnya
memiliki kandungan impor yang tinggi dan harga jualnya menjadi tidak terjangkau
dengan semakin jatuhnya nilai tukar rupiah. Jadi, utang luar negeri swasta dan
nilai tukar rupiah yang merosot jauh dari nilai riilnya adalah masalah-masalah
dasar jangka pendek, yang lama tidak disinggung oleh IMF. Di sini timbul
keragu-raguan akan kemurnian kebijakan reformasi IMF, sehingga timbul
teka-teki, apakah IMF benar-benar tidak melihat inti permasalahannya atau
berpura-pura tidak tahu? Atau IMF mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk
memaksakan perubahan-perubahan yang sudah lama menjadi duri di matanya dan bagi
Bank Dunia serta mewakili kepentingan-kepentingan asing? Tampaknya di balik
anjuran program pemulihan kegiatan ekonomi ada titipan-titipan politik dan
ekonomi dari negara-negara besar tertentu. Program reformasi IMF secara
mencurigakan mengulang kembali tuntutan-tuntutan deregulasi ekonomi yang sudah
sejak bertahun-tahun didengungkan oleh Bank Dunia dan belum sepenuhnya
dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia (lihat World Bank, 1996, bab 2;World
Bank, 1997, bab 4 dan 5).
Permintaan IMF untuk menghentikan
dengan segera perlakuan pembebasan pajak dan kemudahan kredit untuk proyek
mobil nasional dan IPTN adalah tepat, karena dalam jangka pendek proyek ini
akan mengacaukan kebijakan pemerintah di bidang fiskal, anggaran dan moneter
secara berarti. Juga saran IMF untuk menghapuskan subsidi BBM dan listrik yang
kian membesar secara bertahap dalam jangka waktu tiga tahun sudah benar.
Subsidi listrik relatif lebih mudah untuk dihapuskan, yakni melalui subsidi
silang sehingga masyarakat berpenghasilan rendah tetap dikenakan tarif listrik
yang murah dan melalui peningkatan efisiensi, misalnya penagihan yang lebih
efektif. Namun penurunan subsidi BBM dan listrik oleh pemerintah secara drastis
dan mendadak pada tanggal 4 Mei 1998 yang lalu mempunyai dampak yang sangat
luas terhadap perekonomian rakyat kecil, meskipun kepentingan rakyat kecil
sangat diperhatikan dengan adanya jaringan keselamatan sosial. Tindakan drastis
ini sedikit-banyak telah membantu memicu terjadinya kerusuhan-kerusuhan sosial
dan politik. Yang menjadi pertanyaan di sini adalah, apakah pemerintah tidak
bisa menunda kenaikan BBM dan listrik untuk beberapa bulan, menunggu keresahan
masyarakat reda? Di sini pemerintah salah membaca isi dari kesepakatan dengan
IMF, karena IMF menganjurkan penghapusan subsidi secara bertahap dan tidak
secara mendadak. Dalam suplemen program IMF April 1998 disebutkan bahwa subsidi
masih bisa diberikan kepada beberapa jenis barang yang banyak dikonsumsi oleh
penduduk berpenghasilan rendah seperti bahan makanan, BBM dan listrik. Dalam
situasi sekarang hampir tidak ada peluang untuk meningkatkan pajak. Baru pada
tanggal 1 Oktober 1998 direncanakan subsidi akan diturunkan secara berarti.
(butir 10 dan 11 dari Suplemen). Subsidi untuk bahan pangan, BBM dan listrik
sudah diperhitungkan dan dinaikkan dalam anggaran pemerintah (butir 20 dari
Suplemen). Membengkaknya subsidi ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
kinerja yang kurang efisien, tagihan listrik dalam jumlah besar yang tidak
dibayar, tetapi sebab utama karena merosotnya nilai tukar rupiah. Jadi tindakan
yang pokok adalah pertama mengembalikan dulu nilai rupiah ke tingkat yang wajar
dan dari sini baru menghitung besarnya subsidi. Tidak bisa biaya produksi dihitung
atas dasar nilai tukar dengan dollar AS yang masih relatif tinggi lalu
dibebankan kepada konsumen, sementara pendapatan masyarakat adalah dalam rupiah
yang tidak berubah sejak sebelum terjadinya krisis moneter, kalau tidak menurun
dan banyaknya PHK. Keadaan ini tidak sebanding, kita harus melihat sebab-sebab
lain di balik kenaikan biaya produksi. Halnya akan lain, bila pendapatan
masyarakat dalam rupiah juga ikut naik dua atau tiga kali lipat sesuai dengan
kenaikan nilai tukar dollar AS, seperti orang asing yang tinggal di Indonesia
misalnya.
Dalam kaitan ini perlu
dipertanyakan, siapa yang menjadi penyebab dari terjadinya krisis yang
berkepanjangan ini, sehingga nilai tukar valas naik sangat tinggi dan siapa
yang menarik keuntungan dari krisis ini? Janganlah rakyat banyak diminta untuk
berkorban mengatasi krisis ini atau membebankan di atas penderitaan rakyat
dengan misalnya menaikkan harga BBM dan tarif listrik.
Di antara saran-saran IMF juga ada
yang mengenai perluasan penyertaan modal asing dalam kegiatan ekonomi Indonesia
yang terlalu jauh. Modal asing sudah diberi peluang yang cukup besar untuk
investasi di Indonesia dengan diperbolehkannya kepemilikan hingga 100% baik
untuk pendirian PMA, bank asing maupun penguasaan saham dari perusahaan-perusahaan
yang telah go public, kecuali saham bank nasional yang go public. Meskipun
demikian IMF masih meminta dihapuskannya larangan membuka cabang bagi bank
asing, izin investasi di bidang perdagangan besar dan eceran, dan liberalisasai
perdagangan yang jauh lebih liberal dari komitmen resmi pemerintah di forum
WTO, AFTA dan APEC. Masalahnya bukan sentimen nasionalisme, tetapi apa
sumbangan dari keterbukaan ini terhadap restrukturisasi ekonomi dari program
IMF, stabilisasi ekonomi dan moneter, dan apa sumbangannya terhadap pemasukan
modal asing? Bukan masalah anti asing atau sentimen nasionalisme yang sempit,
tetapi apa salahnya bila pemerintah menyisakan bidang kegiatan untuk pengusaha
Indonesia, terutama yang bermodal kecil? Apa permintaan IMF ini tidak terlalu
jauh? Kedengarannya seperti IMF menerima titipan pesan sponsor dari
negara-negara besar yang ingin memaksakan kepentingannya dengan menggunakan
kesempatan dalam kesempitan. (Bandingkan juga Sri Mulyani: 72-3).
Saran IMF lainnya yang disisipkan
dalam persetujuan dan tidak ada kaitannya dengan program stabilisasi ekonomi
dan moneter adalah desakannya untuk menyusun Undang- Undang Lingkungan Hidup
yang baru (butir 50 dari persetujuan IMF tanggal 15 Januari 1998).
Ikut campurnya IMF dalam
penyelesaian utang swasta adalah sangat baik, karena IMF sebagai lembaga yang
disegani bisa banyak membantu memulihkan kepercayaan kreditor luar negeri, yang
akan memperlancar dan mempercepat proses penyelesaian utang. IMF bisa bertindak
sebagai perantara yang netral dan dipercaya.
PENUTUP
v Kesimpulan:
Tingkat depresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara
2,4% (1993) hingga 5,8% (1991) antara tahun 1988 hingga 1996, yang berada di
bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara kumulatif sangat
overvalued. Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar
yang naiknya relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah,
dan produk dalam negeri yang makin lama makin kalah bersaing dengan produk
impor. Nilai Rupiah yang overvalued berarti juga proteksi industri yang
negatif. Akibatnya harga barang impor menjadi relatif murah dan produk dalam
negeri relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya
lebih baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi
kurang kompetitif dan impor meningkat. Nilai rupiah yang sangat overvalued ini
sangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena tidak
mencerminkan nilai tukar yang nyata sehingga menyebabkan krisis moneter.
v Saran :
Seharusnya program IMF jangan terlalu seragam, padahal masalah
yang dihadapi tiap negara tidak seluruhnya sama dan seharusnya IMF tidak terlalu banyak
mencampuri kedaulatan negara.
DAFTAR
PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar